TOM FINALDIN

TOM FINALDIN

Saturday, January 30, 2016

Rambu Lalulintas yang Tak Punya Harga Diri


Bandung, Putera Sang Surya

Banyak rambu lalulintas yang tak punya harga diri pada beberapa kota di Indonesia ini. Entah kenapa sebabnya. Rambu-rambu itu berdiri tegak, tetapi tidak dipatuhi isinya. Ada rambu dilarang berhenti, tetapi tepat di depannya banyak kendaraan berhenti, bahkan parkir berlama-lama. Ada rambu dilarang parkir, tetapi justru menjadi tempat parkir. Ada juga rambu dilarang belok kiri atau belok kanan, tetapi orang-orang cuek saja belok kiri dan kanan seperti tak ada larangan untuk berbelok.


Di depan Rumah Sakit Soreang, Kabupaten Bandung

            Lantas, apa gunanya rambu-rambu itu?

            Rambu-rambu itu kan berguna agar lalulintas lebih lancar, tertib, dan teratur. Akan tetapi, menjadi tidak ada gunanya jika tidak dipatuhi dan tidak dipaksakan untuk dipatuhi.



Kepolisian Sektor Soreang, Kabupaten Bandung

            Paling tidak, saya melihat ada beberapa rambu lalulintas yang merana tanpa harga diri ini. Misalnya, tepat di Jl. Wastukencana, Bandung, tempat Walikota Bandung berkantor, ada rambu dilarang berhenti, tetapi banyak sekali kendaraan yang justru parkir di sepanjang jalan itu. Padahal, polisi lalulalang di sana, bahkan beberapa meter dari sana adalah kantor Poltabes Bandung. Contoh lain, di dekat Alun-alun Soreang Bandung, ada rambu larangan berhenti dan larangan parkir, tetapi tepat di depannya banyak kendaraan parkir. Bukan hanya kendaraan bermotor yang berhenti di sana, delman, ‘kereta kuda’ pun dengan nikmat berada di sana. Padahal, beberapa meter dari rambu-rambu yang dilanggar itu adalah kantor polisi.

            Semua orang tahu bahwa rambu-rambu itu harus dipatuhi, tetapi kesannya seperti dibiarkan dilanggar oleh pengguna jalan. Bahkan, polisi pun memang membiarkannya. Agak aneh memang.


Di samping Alun-alun Soreang, Kabupten Bandung

            Akan tetapi, saya yakin bukan karena pemerintah membiarkan atau polisi yang mempersilakan orang-orang untuk melanggar, melainkan karena “kebijakan” sementara dari aparat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan atas pelanggaran terhadap rambu-rambu itu. Hal itu disebabkan banyaknya kendaraan dan fasilitas parkir yang kurang memadai. Dengan demikian, pelanggaran itu untuk sementara bisa “dimaklumi”.

            Meskipun demikian, aparat kepolisian “jangan nakal”. Maksudnya, jika sehari-hari pelanggaran itu dimaklumi, tetapi suatu saat ketika polisi lalulintas tidak punya uang, tiba-tiba melakukan tindakan atau menjatuhkan sanksi atas pelanggaran terhadap ketidakpatuhan pada rambu lalulintas tersebut. Itu curang namanya. Pasti masyarakat tidak bisa berkelit karena memang berhenti atau parkir di tempat yang justru dilarang berhenti, rambunya tepat di sana. Masyarakat akan kaget sekaligus marah karena kan sebelumnya juga dibiarkan melanggar, tetapi tiba-tiba kena Tilang. Kejadian seperti itu akan semakin menurunkan citra polisi.


Di samping Alun-alun Soreang, Kabupaten Bandung

            Hal yang terbaik untuk dilakukan adalah masyarakat harus dipaksa mematuhi rambu-rambu itu tanpa ada keistimewaan, sediakan lahan parkir yang cukup, dan ambil tindakan pada yang melakukan pelanggaran. Kalau masih belum bisa dilaksanakan atau dipatuhi, sebaiknya rambu itu dicabut saja karena membingungkan dan mencemaskan. Ketika ada masyarakat yang sadar hukum ingin mematuhi rambu tersebut, melihat bahwa banyak orang yang melanggar, lalu melihat pula polisi yang membiarkan pelanggaran tersebut. Akibatnya, dia juga jadi ikut melanggar sambil bingung. Celakanya, ketika pada waktu yang lain dia keenakan melanggar, tiba-tiba kena Tilang.

            Bukankah itu membingungkan?


No comments:

Post a Comment