Bandung,
Putera Sang Surya
Banyak rambu lalulintas yang
tak punya harga diri pada beberapa kota di Indonesia ini. Entah kenapa
sebabnya. Rambu-rambu itu berdiri tegak, tetapi tidak dipatuhi isinya. Ada
rambu dilarang berhenti, tetapi tepat di depannya banyak kendaraan berhenti,
bahkan parkir berlama-lama. Ada rambu dilarang parkir, tetapi justru menjadi
tempat parkir. Ada juga rambu dilarang belok kiri atau belok kanan, tetapi
orang-orang cuek saja belok kiri dan
kanan seperti tak ada larangan untuk berbelok.
Lantas, apa gunanya rambu-rambu itu?
Rambu-rambu itu kan berguna agar lalulintas lebih lancar,
tertib, dan teratur. Akan tetapi, menjadi tidak ada gunanya jika tidak dipatuhi
dan tidak dipaksakan untuk dipatuhi.
| Kepolisian Sektor Soreang, Kabupaten Bandung |
Paling tidak, saya melihat ada beberapa rambu lalulintas
yang merana tanpa harga diri ini. Misalnya, tepat di Jl. Wastukencana, Bandung,
tempat Walikota Bandung berkantor, ada rambu dilarang berhenti, tetapi banyak
sekali kendaraan yang justru parkir di sepanjang jalan itu. Padahal, polisi
lalulalang di sana, bahkan beberapa meter dari sana adalah kantor Poltabes
Bandung. Contoh lain, di dekat Alun-alun Soreang Bandung, ada rambu larangan
berhenti dan larangan parkir, tetapi tepat di depannya banyak kendaraan parkir.
Bukan hanya kendaraan bermotor yang berhenti di sana, delman, ‘kereta kuda’ pun dengan nikmat berada di sana. Padahal,
beberapa meter dari rambu-rambu yang dilanggar itu adalah kantor polisi.
Semua orang tahu bahwa rambu-rambu itu harus dipatuhi,
tetapi kesannya seperti dibiarkan dilanggar oleh pengguna jalan. Bahkan, polisi
pun memang membiarkannya. Agak aneh memang.
| Di samping Alun-alun Soreang, Kabupten Bandung |
Akan tetapi, saya yakin bukan karena pemerintah
membiarkan atau polisi yang mempersilakan orang-orang untuk melanggar,
melainkan karena “kebijakan” sementara dari aparat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan
atas pelanggaran terhadap rambu-rambu itu. Hal itu disebabkan banyaknya
kendaraan dan fasilitas parkir yang kurang memadai. Dengan demikian,
pelanggaran itu untuk sementara bisa “dimaklumi”.
Meskipun demikian, aparat kepolisian “jangan nakal”.
Maksudnya, jika sehari-hari pelanggaran itu dimaklumi, tetapi suatu saat ketika
polisi lalulintas tidak punya uang, tiba-tiba melakukan tindakan atau
menjatuhkan sanksi atas pelanggaran terhadap ketidakpatuhan pada rambu
lalulintas tersebut. Itu curang namanya. Pasti masyarakat tidak bisa berkelit
karena memang berhenti atau parkir di tempat yang justru dilarang berhenti,
rambunya tepat di sana. Masyarakat akan kaget sekaligus marah karena kan
sebelumnya juga dibiarkan melanggar, tetapi tiba-tiba kena Tilang. Kejadian
seperti itu akan semakin menurunkan citra polisi.
| Di samping Alun-alun Soreang, Kabupaten Bandung |
Hal yang terbaik untuk dilakukan adalah masyarakat harus
dipaksa mematuhi rambu-rambu itu tanpa ada keistimewaan, sediakan lahan parkir
yang cukup, dan ambil tindakan pada yang melakukan pelanggaran. Kalau masih
belum bisa dilaksanakan atau dipatuhi, sebaiknya rambu itu dicabut saja karena
membingungkan dan mencemaskan. Ketika ada masyarakat yang sadar hukum ingin
mematuhi rambu tersebut, melihat bahwa banyak orang yang melanggar, lalu
melihat pula polisi yang membiarkan pelanggaran tersebut. Akibatnya, dia juga
jadi ikut melanggar sambil bingung. Celakanya, ketika pada waktu yang lain dia
keenakan melanggar, tiba-tiba kena Tilang.
Bukankah itu membingungkan?
No comments:
Post a Comment