TOM FINALDIN

TOM FINALDIN

Thursday, July 28, 2016

Infrastruktur Jalan di Bumi Parahyangan Kencana Rusak Parah

Bandung, Putera Sang Surya
Komplek Perumahan Bumi Parahyangan Kencana, Desa Nagrak, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung adalah perumahan yang didirikan sejak awal 1994 oleh Perum Perumnas Regional IV Cabang Bandung. Apabila dihitung sampai dengan 2016, usia perumahan ini sudah mencapai kurang lebih 22 tahun. Selama kurun waktu tersebut, infrastruktur jalan di perumahan tersebut tidak pernah mendapatkan pemeliharaan dan perbaikan yang memadai.
            Infrastruktur di komplek tersebut rusak parah dan tidak layak pakai. Lapisan aspalnya sudah hilang, lapisan batu-batu koral berserakan tidak beraturan, tidak rata, sebagian batu besar menonjol, banyak lubang yang digenangi air, posisinya ada yang miring, sebagian sudah tinggal lapisan tanah merah lembek dan becek, rumput tumbuh di kanan-kiri-tengah jalan, jalan tanah menurun-menanjak yang licin membahayakan, dan lain sebagainya.


            Saya teringat ucapan Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat Dr. Ir. Drs. H.M. Guntoro, M.M., “Secara teori, kekuatan jalan atau jembatan yang dibangun dengan spek yang bagus dan layak usianya hanya sampai sepuluh tahun. Setelah sepuluh tahun, jalan atau jembatan tersebut akan rusak sehingga perlu perbaikan kembali.

Jika pernyataan Kepala Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Barat Dr. Ir. Drs. H.M. Guntoro, M.M. dikaitkan dengan kondisi infrastruktur jalan di Bumi Parahyangan Kencana, Desa Nagrak, Kecamatan Cangkuang, paling tidak sudah harus satu kali pemeliharaan dan perbaikan sejak berdirinya pada 1994, yaitu pada 2005. Perbaikan dan pemeliharaan kedua harus dilaksanakan lagi minimal pada 2016. Akan tetapi, pemeliharaan dan perbaikan tersebut tidak pernah terjadi.
Bambang  Sumpena, tokoh masyarakat di sana, menjelaskan bahwa infrastruktur jalan yang ada tidak pernah dipelihara dan diperbaiki oleh pemerintah. Ia menyayangkan tidak adanya perhatian dari pemerintah. Akan tetapi, ia pun tidak terlalu menyalahkan pemerintah karena menurutnya, Perum Perumnas Regional IV Cabang Bandung, selaku pengembang, memiliki kewajiban pula dalam hal memelihara dan memperbaiki jalan di Bumi Parahyangan Kencana, Desa Nagrak, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung.


Tokoh masyarakat lainnya, membenarkan tidak adanya upaya perbaikan dan pemeliharaan terhadap jalan tersebut. Ia berpendapat bahwa perbaikan dan pemeliharaan jalan memang seharusnya dilakukan oleh Perum Perumnas Regional IV Cabang Bandung, tetapi dapat memakluminya. Ia malahan menyalahkan beberapa penghuni yang menunggak membayar cicilan hingga rumahnya dikuasai oleh pihak bank. Ia pun menduga bahwa Perum Perumnas Regional IV tidak memiliki dana untuk melakukan pemeliharaan dan perbaikan terhadap infrastruktur jalan disebabkan adanya tunggakan-tunggakan tersebut.
Husen Suhendi, tokoh masyarakat, mengungkapkan benarnya ketidakhadiran Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dan Perum Perumnas Regional IV Cabang Bandung dalam permasalahan infrastruktur jalan tersebut.
Dengan nada sinis, ia mengatakan, “Kalau bukan kita yang sadar, siapa lagi yang mau memperbaiki jalan?”
Ia seakan-akan berhenti berharap kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dan Perum Perumnas Regional IV Cabang Bandung untuk memelihara dan memperbaiki infrastruktur jalan di Bumi Parahyangan Kencana, Desa Nagrak, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung. Ia tidak percaya bahwa kedua institusi itu akan turun tangan memelihara dan memperbaiki infrastruktur jalan. Ia pun menyatakan bahwa hanya masyarakat yang memiliki waktu untuk melaksanakan kerja bakti yang dapat memelihara dan memperbaiki jalan dengan kemampuan seadanya, baik tenaga maupun dana.


Sudarsono, tokoh masyarakat yang menjadi penghuni Bumi Parahyangan Kencana sejak 1999, memiliki komentar yang berbeda, “Pemerintah itu aneh. Kita dipungut pajak, diminta bayar iuran. Kita sudah bayar pajak, bayar iuran, tetapi jalan-jalan di sini tidak diperbaiki.”
Heri Susanto, tokoh masyarakat, mengungkapkan hal yang senada, “Uangnya diambil, tetapi haknya tidak diberikan.”
Pajak yang mereka maksud adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tagihan listrik, dan tagihan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di samping itu, ada juga iuran yang harus dibayar ke kantor Desa Nagrak, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung yang disebut Iuran Desa (Urdes).
Pernyataan Sudarsono dan Heri Susanto ini menyiratkan seolah-olah pemerintah tidak adil karena mengambil uang dari rakyat, tetapi hak rakyat untuk mendapatkan pemeliharaan dan perbaikan terhadap infrastruktur jalan tidak diberikan. Mereka beranggapan bahwa uang yang dibayarkan sebagai pajak dan tagihan lainnya kepada pemerintah harus kembali lagi kepada mereka, salah satunya dalam bentuk pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur jalan. Warga yang memiliki pandangan seperti Sudarsono dan Heri Susanto ini sangat banyak, bahkan yang paling banyak di antara narasumber yang saya wawancarai.
Hal yang menarik adalah justru dikemukakan oleh Kepala Desa Nagrak, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung, Zaenal Aripin, “Memang jalan-jalan di Komplek Bumi Parahyangan Kencana rusak berat dan tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah kabupaten. Kalau masyarakat ingin jalan diperbaiki, seharusnya melakukan upaya protes kepada pihak pengembang dan Pemerintah Kabupaten Bandung.


Mereka yang Harus Bertanggung Jawab

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur jalan adalah pemerintah, pengembang, dan masyarakat. Sayangnya, dari ketiga pihak yang bertanggung jawab tersebut, baru masyarakat yang benar-benar melakukan perbaikan dan pemeliharaan. Itu pun dengan kemampuan dan waktu yang sangat terbatas. 

           Masyarakat melakukannya dengan cara kerja bakti dengan hasil yang sangat minimal. Masyarakat benar-benar menunggu turun tangannya Pemerintah Kabupaten Bandung dan pihak pengembang, yaitu Perum Perumnas Regional IV Cabang Bandung untuk memelihara dan memperbaiki jalan di Bumi Parahyangan Kencana, Desa Nagrak, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung. Wajar masyarakat menunggu karena selama kurun waktu 22 tahun infrastruktur jalan di Bumi Parahyangan Kencana rusak parah dan tidak mendapatkan upaya pemeliharaan dan perbaikan yang berarti, baik dari Pemerintah Kabupaten Bandung maupun dari pihak pengembang, yaitu Perum Perumnas Regional IV Cabang Bandung.



Thursday, July 21, 2016

International Conference “Asean-Korea Relations: 25 Years of Partnership and Friendship

Bandung, Putera Sang Surya

Judulnya memang menggunakan bahasa Inggris, tetapi isi tulisan ini tidak akan menggunakan bahasa Inggris, kecuali sedikit.

            Judul tulisan ini merupakan judul sebuah acara yang digelar oleh International Relations Department, Parahyangan Catholic University (Unpar) yang bekerja sama dengan Korean Insitute of Southeast Asian Studies (Kiseas). Acara ini digelar di Sheo Hotel, Jl. Ciumbuleuit 152, Bandung 40142 pada Rabu, 19 Juli 2016.

            Saya diundang menghadiri pertemuan ini hanya untuk mendengarkan. Sebenarnya, acara ini digelar mirip dengan seminar yang seharusnya membuka ruang untuk diskusi, tetapi tampaknya panitia tidak membuka ruang untuk itu. Di dalam jadwal acaranya sih, memang ada diskusi, tetapi hanya diperkenankan untuk dua orang komentator atau discussant yang sudah ditentukan orangnya dan itu pun diupayakan untuk tidak ditanggapi. Seminar direncanakan hanya satu arah, yaitu hanya pemateri dan discussant yang berbicara tanpa melibatkan floor atau peserta. Akibatnya, banyak hal yang sebenarnya bisa didiskusikan dan digali lebih dalam sama sekali tidak muncul ke permukaan. Mungkin hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan waktu yang memang sangat sempit, yaitu mulai 09.00 pagi s.d. 13.00 siang. Bisa pula memang hanya untuk mempromosikan Korean Institute of Southeast Asian Studies (Kiseas) dan International Relations Departement Parahyangan University (Unpar) berikut Sheo Hotel kepada masyarakat Indonesia, khususnya para peserta tanpa diniatkan untuk mendapatkan hasil diskusi yang bernilai akademis.




            Acara ini diawali oleh sambutan-sambutan sebagaimana biasanya sebuah acara. Pertama, sambutan dari Dr. Pius Sugeng Prasetyo, M.Si., selaku Dean of the Faculty of Social and Political Sciences, Parahyangan Catholic University (Unpar). Kedua, sambutan dari Dr. Park Sa-Myung, selaku Chairman of the Board of Trustees, Kiseas. Kata-kata pembukaan disampaikan oleh  H.E. Mr. Rahmat Pramono, selaku The Indonesian Ambassador/Head of Permanent Representative to Asean. Kemudian, dilanjutkan oleh H.E. Mr. Suh Jeong-in, selaku Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary of the Republic of Korea to Asean.

            Pada sesi pertama diskusi dimoderatori oleh Dr. Aknolt Kristian Pakpahan dari Unpar. Dia memandu tiga pemateri. Pemateri pertama adalah Dr. Lee Jaehyon dari The Asian Institute for Policy Studies yang membawakan materi 25 Years of Asean-Korea Relations and Beyond: From a Slow Start To a Solid Partnership. Pemateri kedua adalah Dr. Lee Choong Lyol dari Korea University at Sejong yang membawakan materi Asean-Korea Economic Relations: A Twenty-Five Years Partnership of Cooperation and Development. Pemateri ketiga adalah Dr. Kim Hyung-Jun dari Kangwon National University yang membawakan materi Asean-Korea Sociocultural Exchanges: Developments after 1970s.

            Ketiga pemateri itu sebagian besar memaparkan mengenai sejarah dan data-data mengenai situasi dan kondisi antara Asean dengan Korea. Berdasarkan data-data itu mereka menjelaskan perlunya kerja sama yang lebih baik antara Asean dengan Korea dalam hal ekonomi. Mereka berupaya menerangkan bahwa potensi pariwisata dan Iptek Korea dapat bersanding dengan tenaga kerja Asean yang jumlahnya banyak serta dengan upah buruh yang murah.

            Ketiga pemateri itu pun dikomentari oleh H.E. Mr. Rahmat Pramono, selaku The Indonesian Ambassador/Head of Permanent Representative to Asean yang disertai berbagai masukan dan kritik.  Demikian pula komentar Dr. Sukawarsini Djelantik dari Departement of IRs Unpar menyertakan berbagai pertanyaan dan kritik. Sukawarsini mengkritik isi materi yang menggeneralisir Asean sebagai sebuah entitas yang sama. Menurutnya, Asean bukanlah suatu entitas yang sama dan sejenis, melainkan terdiri atas berbagai negara dengan banyak perbedaan. Di samping itu, Sukawarsini pun mempertanyakan tentang posisi Indonesia dalam pariwisata Korea dibandingkan dengan negara Asean lainnya. Hal yang lebih penting lagi adalah ia mempertanyakan data-data yang disampaikan pemateri karena dia sendiri pun melakukan penelitiannya sendiri yang dirasakannya berbeda dengan yang dibawakan pemateri.


            Sayangnya, moderator tidak memberikan waktu untuk tanya jawab. Bahkan, pertanyaan dan kritik dari H.E. Mr. Rahmat Pramono dan Dr. Sukawarsini Djelantik tidak ditanggapi karena alasan waktu dan memang acara tersebut tidak diagendakan untuk diskusi. Sesi pertama pun ditutup.

            Pada sesi kedua yang bertindak sebagai moderator adalah Dr. Shin Jae Hyeok dari Korea University. Ia mendampingi dua pemateri. Pemateri pertama adalah Dr. Jeon Je Seong dari Chonbuk National University yang membawakan materi Korea-Indonesia Relations: A Golden Period and Human Dimensions. Adapun pemateri kedua adalah Dr. Yoon Dae-Yeong dari Sogang University yang membawakan materi Korea-Vietnam Relations: From Enemy to Comrade.

            Pemateri pertama menegaskan bahwa hubungan Indonesia dan Korea dapat dipererat melalui berbagai sektor, misalnya, politik, ekonomi, budaya, sejarah, pendidikan yang disertai dengan penelitian. Ia pun menjelaskan bahwa korea termasuk dalam empat negara penting yang berhubungan dengan Indonesia karena telah menanamkan investasi di Indonesia dan memberikan bantuan pada solidaritas para pekerja Indonesia yang bekerja di pabrik-pabrik Korea. Indonesia pun telah berkontribusi positif terhadap korea dengan mempererat persaudaraan muslim Indonesia-Korea, pembangunan masjid-masjid di Korea, dan kerja-kerja sosial.

            Kedua pemateri itu pun dikomentari oleh Dr. Yulius Purwadi Hermawan dari IRs Department, Fisip-Unpar dan Prof. Dr. Sylvia Yazid selaku IRs Head of Department. Yulius menanggapi pentingnya kerja sama Indonesia-Korea dalam bidang pendidikan dan penelitian karena di Indonesia terlalu banyak sarjana yang berkecenderungan ke Barat, baik perspektif, referensi, maupun orientasinya. Ia menyatakan perlunya para pemikir yang bersifat Indonesian Koreanist karena pemikir seperti ini masih sangat kurang. Ia pun berharap munculnya sarjana-sarjana pribumi dengan pikiran-pikiran pribumi. Adapun Sylvia Yazid memberikan banyak kritik terhadap isi materi maupun kondisi-kondisi riil yang sebenarnya terjadi di Korea, termasuk mempertanyakan apa yang dimaksud dengan Golden Period. Ia pun mengkritik acara yang tidak memberikan kesempatan kepada seluruh peserta untuk mengajukan pertanyaan karena sebetulnya banyak hal yang ingin ditanyakan para peserta.

            Kritikan Sylvia Yazid memaksa moderator untuk membuka sesi tanya jawab. Akan tetapi, sayangnya, hanya untuk tiga penanya dan para pemateri tampaknya tidak terlau siap untuk bertanya-jawab. Jawaban-jawaban dari para pemateri tampak tidak akurat sebagaimana yang diharapkan para peserta.


            Meskipun demikian, pertemuan ini memberikan banyak manfaat bagi para peserta khususnya para mahasiswa agar lebih tertarik untuk mendalami hal-ihwal Asean, Korea, dan aktivitas Indonesia di kawasan Asean juga hubungannya dengan Korea. Dengan demikian, kajian-kajian mengenai hubungan internasional akan lebih memperkaya pemahaman bangsa Indonesia dalam melaksanakan hubungan internasional pada masa-masa selanjutnya.

Friday, July 15, 2016

Kebun Binatang Bandung

Bandung, Putera Sang Surya

Liburan pasca lebaran tahun 2016 ini saya diajak ke Kebun Binatang Bandung. Sudah bertahun-tahun sebenarnya saya tidak pernah mengunjungi tempat itu. Hal itu disebabkan saya pernah datang pada tahun-tahun sebelumnya, lalu merasa kasihan pada semua binatang yang ada di sana. Binatang-binatang itu tampak lemas, tidak terurus, dan bersikap malas-malasan. Oleh sebab itu, saya sangat tidak tertarik mengunjungi Kebun Binatang Bandung. Berbeda sekali keadaannya ketika saya masih kecil dulu dan dipangku ayah saya. Gajah kerap menyapa pengunjung dengan mengangkat belalainya ke kepalanya, lalu saya lemparin mulutnya pakai makanan, ada leupeut, kacang, atau roti. Memang memberi makan binatang sangat dilarang, tetapi yang namanya anak-anak, semuanya senang memberi makan dan tidak ada yang mati gara-gara itu. Monyet-monyet tampak lincah, teriak-teriak, dan berlari-lari mengelilingi kandang sambil sekali-kali bergelantungan. Harimau, macan, dan singa mengaum menggelegar berulang-ulang. Burung-burung bersuara indah. Merak kerap membangga-banggakan ekornya yang mekar dan indah. Sehat sekali saat itu dan menyenangkan.




            Entah kenapa pasca saya kuliah, tampaknya tidak terurus. Binatangnya pada lemas dan malas, banyak kandang kotor dan rusak. Kadang-kadang ada kandang tak terurus tanpa ada binatangnya. Sementara itu, fasilitas untuk pengunjung ada tambahan dan perbaikan yang lumayan baik. Sayangnya, itu buat pengunjung, tidak untuk binatangnya. Itulah yang membuat saya enggan datang lagi ke tempat itu.

            Ketika diberitakan Gajah Yani mati, saya tidak begitu heran dan kaget. Saya dengan cepat menduga bahwa memang kalau kesejahteraan binatang tidak diperhatikan dan hanya memperhatikan kesenangan pengunjung, akibatnya bisa buruk dan memang kejadiannya sangat buruk.



            Setelah Gajah Yani mati, saya semakin enggan untuk ke Kebun Binatang Bandung. Saya semakin kasihan pada binatang-binatang itu. Akan tetapi, pada liburan pasca lebaran 2016 saya diajak untuk ke sana dan melihat ada banyak perbaikan pada binatang-binatang itu. Harimau, singa, macan yang biasanya malas dan tampak letih saat itu bergerak ke sana-kemari. Burung-burung tampak sehat. Monyet-monyet pun bergerak lebih cepat dibandingkan saat lalu. Gajah meskipun dirantai, terlihat sehat dan segar. Memang masih ada yang kurang bergairah, yaitu orangutan, tetapi tidak menunjukkan kondisi sakit, mungkin karena usia yang sudah tua dan tempatnya agak kurang bersih. Meskipun ada banyak perbaikan, kondisinya binatangnya masih jauh lebih bergairah ketika saya masih kecil dulu.




            Meskipun demikian, saya bersyukur di Kebun Binatang Bandung ada banyak perbaikan. Mudah-mudahan bukan karena dalam menghadapi liburan pascalebaran para binatang itu dibuat sehat dan sejahtera. Saya berharap bahwa pengelola Kebun Binatang Bandung dapat terus konsisten menyejahterakan binatang dan menyamankan pengunjung. Dengan demikian, Kebun Binatang Bandung dapat terus memberikan kontribusinya bagi kesejahteraan binatang, pendidikan generasi muda, sekaligus memberikan kesenangan bagi siapa saja.


Monday, February 8, 2016

Democracy Push Printing Counterfeit Money

by Tom Finaldin



Bandung, The Son of The Sun

The state that is in distress is often witness many people who seek wealth by making counterfeit money. Indeed, there are experts who say that the circulation of counterfeit money rupiah has yet to shake the Indonesian monetary stability, which means that the number is far smaller than the original money. However, if the forgery behavior continues, could swell which in turn will complicate the atmosphere. Especially at this time people seem less wary of fake money.

            Used to manufacture counterfeit money appears to be done to simply seek wealth by deceptive way. However, the current push to make counterfeit money to grow again, which is looking for position and power.

            Practice like this. In a private television station stated that those who make counterfeit money was intended to finance the various actions and the party's campaign to introduce their candidates. People are already said to be " smart " is willing to campaign for parties, candidates, or a demonstration with a note given adequate compensation. These people have a manager who often served as liaison with the parties concerned, the manager must ask for a fee to hold a procession. The parties had a "desire", as per custom, will provide the funds that it deems sufficient.

Money to hold the procession coming from the course if they do not have their own, surely they borrow to sell a number of appointments. If it is still lacking, his head spinning for the money. Then, appears idea to print counterfeit money by utilizing a society that is not increasingly alert and are not concerned with whether or not the original money supply. That was what happened. The reason for the campaign is needed in the democratic world.

Is not democracy requires broad community support?

To achieve that support, money be an effective tool to attract and mobilize the masses.

So, democracy is really dangerous political system and tends to destroy the moral, mental, and spiritual community. Looks like it was a wonderful democracy, but actually save millions of foul crimes and nauseating.


Malu Mengajarkan PKn


Bandung, Putera Sang Surya

Guru merasa malu mengajarkan PKn karena memiliki kewajiban mengajarkan hal-hal yang positif kepada anak didiknya mengenai negara dan ketatanegaraan Indonesia, padahal dalam kenyataannya banyak terjadi korupsi. Perilaku-perilaku sangat tidak terpuji dari para oknum elit negara itu tidak bisa ditutupi karena para siswa mengikuti berbagai berita dari berbagai media.

            Demikian keluhan dari salah seorang guru PKn di Kota Bandung saat beraudiensi dengan Komisi Yudisial. Para guru PKn se-Kota Bandung itu memang diajak berkunjung audiensi oleh Prof. Dr. H. Mohamad Surya ke Komisi Yudisial (KY)  di kantor KY Jl. Kramat Raya No. 57, Jakarta Pusat.

            Profesor Surya mengajak para guru PKn tersebut adalah untuk memberikan pengetahuan tambahan, pengalaman, pencerahan, serta ruang diskusi bagi para guru mengenai berbagai hal yang terkait dengan materi pelajaran yang menjadi tugasnya untuk diajarkan kepada para siswa.

            Dalam audiensi tersebut yang bertindak sebagai pembicara adalah Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H.; Prof. Dr. H Mohamad Surya; Dr. H. Gunawan Undang, Drs., M.Si.; Asep Rahmat Fajar.

            Dalam menanggapi keluhan para guru tersebut, Prof. Eman menjelaskan bahwa memang salah satu tugas KY adalah membersihkan perilaku-perilaku korup tersebut, khususnya di dalam urusan hukum. KY memang tidak berhak mengurusi persoalan atau perkara hukum, tetapi berwenang memberikan penilaian terhadap perilaku, moral, dan etika para hakim mulai hakim di Mahkamah Agung (MA) sampai dengan ke bawah, termasuk di Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian, KY memberikan sumbangan positif terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia. Para hakim akan senantiasa diawasi KY, kemudian jika terjadi terjadi pelanggaran etika. KY dapat mengeluarkan rekomendasi kepada MA. Menurutnya, fungsi terbesar KY adalah menyeleksi hakim agung, menyeleksi hakim (pengadilan negeri, agama, PTUN, dan militer), melakukan pengawasan eksternal. Adapun tujuan dibentuknya KY adalah  agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat, menjaga kemandirian kekuasaan kehakiman dengan cara meminimalkan pengaruh politik dalam pemilihan hakim agung dan pengawasan perilaku hakim, serta menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan karena senantiasa diawasi secara intensif oleh  lembaga yang benar-benar independen.

            Dalam kesempatan itu pun, salah seorang guru yang memiliki pandangan bahwa kewenangan yang dimiliki KY sangatlah lemah karena tidak memiliki kewenangan untuk menindak hakim, berpendapat bahwa sebaiknya KY dibubarkan saja. Dalam menanggapi pernyataan tersebut, Prof. Surya menegaskan bahwa orang yang menginginkan KY dibubarkan adalah orang yang pikirannya sesat, pesimistis, dan bukanlah pikirannya seorang guru. Surya menerangkan bahwa KY sesungguhnya harus didukung penuh dan kewenangannya harus diperkuat, power-nya harus ditambah lagi sehingga dapat lebih berperan dalam mengatasi permasalahan bangsa.

            Dalam istilah Sunda keberadaan KY bisa dipertahankan dengan dalil komo, yaitu aya KY wae mafia hukum susah diberantas, komo mun euweh KY, ‘ada KY saja mafia hukum susah diberantas, apalagi kalau tidak ada KY’. *******


            

Saturday, February 6, 2016

Undemocratic Means Tyranny: Misguided Thoughts

by Tom Finaldin

Bandung, The Son of The Sun

            During this time almost we all assume that democracy is the most superior political system. We think that if it was not a democracy, it means using the political system of tyranny or farthest implement the system of the Islamic State. It is heretical thoughts that caused us already crowded by limited understandings are exposed to foreign influence is very strong.

            In the Sunda known proverb teachings "Ulah kurung batokeun". In the Indonesian language roughly means "Do not live like in a shell". People who live in the shell has a very limited view. He only saw what was in the shell bounded by the walls of a coconut shell. Therefore, he and other people who also live in the shell does not know anything except that he saw it.

Good, Sunda’s ancestor have a saying like that. That is, we have to venture out of the shell. People who venture out of coconut shells will be fascinated by the breadth of the world much wider and have much choice than to live in the dark shell. He will soon be smiling happy, happy to have other things much more wearing eye, physical, and mental.

If people who have come out of the shell is soulless hermit, he will continue to be outside alone and enjoy the beauty of the outside world does not care about the other people who are still in darkness. If people were spirited fighter, he will go again in the shell, then gave the good news to people who are always in darkness. He will continue to speak about the beauty of the outside world. However, he soon will have scorn, mockery, insults from those dark. He is considered insane or delusional because it calls on the things they think are impossible. Naturally, their sight was limited. Nonetheless, a fighter is tireless and not afraid of scolding, he would continue to sensitize people to immediately towards a better state. It is because he loves people and feel very sorry for those who every day restless and had plenty of empty dreams.

In foreign terms that are similar to the adage is "Helicopter skill". That is, we must have the ability to see things from above so that our view extensive, further compared with those who were under. People who were in the street view is restricted by objects and buildings in the surrounding areas, while those in the helicopter will be clear and comprehensive. Thus, he will be more careful and wiser in taking decisions before taking action.

I deliberately put forward the saying that we understand that knowledge is very broad and the knowledge we have today very limited. This paper was written with the hope that people understand better what I have often pointed out on various occasions. Average everything I invite discussions began grassroots to academics, understand that what I say is true, that political democracy is a political system that is dangerous and destroy the human civilization. Only those, before I explain, always have a conclusion that I was expecting a tyrannical system of government or the Islamic State.

Honestly, their opinions or conclusions unilaterally could be because they have no alternative beyond what they know. That is, if not democracy, mean tyranny or the Islamic State.

This is what I mean with regard to the proverbial Sunda above. We were trapped in coconut shells for too long, maybe centuries. The reason is that we always just responding to something we can touch, we see, and we measure the size of the conventional. In fact, the science of Allah Almighty is very broad, covering everything.

Nevertheless, we can not blame because Allah alone is very thoughtful in providing knowledge, means step by step, piece by piece, not dropped down from the sky entirely as it will definitely make people confused.

Is not Quran also lowered gradually in accordance with its asbab al-nuzul?

The view was reasonable lost out because in every discussion, people always see how unfettered life in the false democracy of the New Order, all the limitations, easily frightened, and tend feudalistic. As in this democracy, people can be more free expression, using the full potential even though it does not also lead to the expected benefits.

In short, they understand democracy was perverse and misleading, but has no other choice in the sense of fear of living in isolation, if not by a democratic political system.

Gentlemen, actually lives in an atmosphere of repressive New Order is not related to democracy. Abuses by the New Order does not mean not democratic. New Order government was repressive because it does not implement the 1945 Constitution and Pancasila are pure and consistent.

The proof, is not the name of freedom of expression and association are protected by law?

Are we not mandated to love deliberation by Pancasila?

Do not we have to work together?

Do not we have to respect other humans more civilized?

In the New Order era, the rights were suppressed, restricted, restrained massively. Indeed, without democracy, if the rights set forth in the 1945 Constitution and Pancasila was given the full, our lives will be quiet, convenient, and free. Even better when compared with freedom now. Freedom that has existed in the 1945 Constitution and Pancasila it will provide a strong impetus for each hand to progress together in order to live a more noble and spiritually. In contrast to the freedom that heralded democracy that led to the split, slander, competition, and fraud.

So, Ladies and Gentlemen, it is no relationship between the repressive nature of the New Order with democracy. That is, not because of the New Order regime is not democratic life unfettered, but the prison was due to non-realization of the 1945 Constitution and Pancasila are purely and consistently by the New Order.

Without democracy we will live more freely glorious and honorable, well before man and before God Almighty.

Oh yes, about the Islamic State, I think to this day that concept remains vague and unclear. It is my view no need to explain something that certainly will never clear because Islam was revealed not to establish a state following conventional terms. Islam is not limited territorial, not bound by the terms of the conventional a state contrived by humans. In fact, if Islam is separated, dwarfed into a particular country, it seems to make Islam itself was cramped and claustrophobic. Islam is a teaching of moral improvers to achieve harmony and harmonious in the world and causes its adherents gain happiness, both physically and mentally, in this world and the Hereafter.

          Hopefully this can provide an adequate explanation can be understood though limited by space and time. May Allah never tired to give instructions to us to get out of the lostness that cause complexity of life. Amen.

Friday, February 5, 2016

Guru Jangan Mau Dipecah-pecah


Guru jangan mau dipecah-pecah, ditarik-tarik oleh berbagai kepentingan politik, apalagi kepentingan politik yang sama sekali tidak memperjuangkan guru dan pendidikan. Prof. Dr. H. Mohamad Surya, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, mewanti-wanti hal tesebut dalam acara Seminar Nasional PGRI “Empat Pilar Ketahanan Nasional” yang diselenggarakan PGRI Cabang Kecamatan Sagalaherang, Subang, Jawa Barat.

            Ia mensyinyalir kuat bahwa para guru dan PGRI dijadikan rebutan bagi  berbagai kepentingan politik tertentu untuk mencapai keuntungan politik tertentu pula. Surya sangat berharap bahwa guru harus mendukung para politisi atau pihak-pihak yang serius benar-benar memperjuangkan kesejahteraaan para guru dan tujuan pendidikan nasional. Hal itu harus sudah terbukti nyata, artinya bukan hanya sekedar kampanye atau slogan kosong pada masa-masa pemilihan. Banyak politisi yang berjanji untuk memajukan pendidik dan pendidikan, tetapi setelah memiliki kekuasaan meninggalkan janji-janjinya. Ia pun mengkritik keras para guru dan pengurus PGRI yang telah tergiur sejumlah uang dari kekuatan politik tertentu yang sama sekali tidak memiliki perhatian kepada pendidik dan proses pendidikan. Hal itu memiliki arti bahwa mereka telah dengan sengaja jual beli kepentingan untuk keperluan sesaat dengan meninggalkan kepentingan yang lebih besar, yaitu kesejahteraan guru dan pencapaian tujuan pendidikan nasional.


            Prof. Surya tidak alergi kepada siapa pun yang berniat memajukan guru dan pendidikan. Ia bahkan akan sangat berterima kasih kepada mereka dengan catatan memang terbukti bahwa dalam kesehariannya benar-benar berjuang untuk kepentingan pendidikan secara nyata, bukan omong kosong dan janji palsu saat kampanye. Minimal, seperti apa yang telah dilakukan dirinya yang tiada henti memperjuangkan nasib guru serta memperbaiki proses pendidikan. Apalagi kalau ada yang lebih baik daripada dirinya, ia akan sangat bergembira. Semua orang tidak bisa membantah bahwa kesejahteraan para guru yang saat ini semakin meningkat adalah hasil kerja kerasnya dalam waktu yang panjang bersama PGRI.

            Sementara itu, Dr. H. Gunawan Undang, Drs., M.Si., dosen peneliti, memberikan materi tentang ketahanan nasional. Ia menyoroti bahwa banyaknya koruptor berlarian dan merasa aman di luar negeri karena pihak luar negeri yang dijadikan tempatnya kabur berlibur mendapatkan keuntungan pula dari para koruptor tersebut. Oleh sebab itu, Gunawan Undang menginginkan agar dimulai para guru harus selalu menanamkan rasa cinta kepada tanah air sekaligus tidak selalu menganggap hebat pihak luar negeri. Menurutnya, kemajuan bangsa Indonesia hanya bisa berhasil jika bangsa Indonesia memiliki rasa cinta tanah air yang tinggi dan tidak menggantungkan harapan kepada bantuan atau arahan-arahan pihak asing. *******


Thursday, February 4, 2016

Crime of Democracy is Very Terrible

by Tom Finaldin

Bandung, The Son of The Sun

Still fresh in our memory. Some time ago the country held legislative elections that are not followed by all the people of the rightful owner of the right to vote. More than 40% reportedly not went to the polling stations.

            As the writings of the past, I always promote understanding that the democratic political system is a confused teachings which make misleading and must be abandoned as soon as possible if Indonesia want to find prosperity and glory.

I'm really very surprised after watching general election some time ago - I certainly did not join in democracy. It is simply shameful activity. I would follow the example of Abraham peace be upon him that leaving from the hand of all what people do. I do not have the burden to be accountable in the hereafter, both as electors and elected. Carefully Bro, everything we do will be held accountable before Allah swt later. Whatever, you believe it or not. Clearly, the events of the divine tribunal was inevitable.

In many articles on this site, I expose the evils of democracy at all costs. For example, cultivate corruption, waste of public money, mortgaging the nation, increasing the actions of deceit and slander, encouraging opposition, destroy identity, inviting foreign invaders in other forms to dredge the wealth of nature, reproduce counterfeit money, foster oligarchs, multiply hypocrisy, make fickle, as well as a multitude of other crimes that ultimately makes this country are always poor and destitute.

Now, after the election on 9th April 2009, the evil of democracy is growing. Things that I had not expected and have not been presented in the history of humanity appear prominently and the jerk elite quietly alone. Properly, the elites were thinking why it happened, then thought again how to prevent it in the future.

Elite, there are good and there are a jerk. Just count yourself how many people are good and how many thousands of highly jerk.

We can see a democracy has resulted in riots, unrest, fraud craze, depression, frustration, insanity, and even death. The son of a nation that should use pontentiality better for himself and his people have become victims of barbarity democracy. Amien Rais ever indicated that in this election there is the work of stealth, strange deception. We also see with concern that the values ​​of kindness has been so destroyed replaced materialistic values.

What's worse is our society laughed at people who have become victims of atrocities democracy. We often hear or maybe we own bantering with the topic of madness and death of the candidates who are not elected.

Do not we realize that the behavior of laugh and embarrass the person was an ugliness?

With our attitudes are clearly erroneous has shown that how moron us, how stupid we are, if there is no compassion in us?

Indeed, the perfection of stupidity of this country will soon reach its peak if it continues democracy.

We should be concerned, sad, and sympathetic, even if able to, give assistance.

Would not they are our brothers and compatriots?

We really being cheated and deceived ourselves for with - uh ... no other word that is more rugged than the fool? -whole Ignorance that continues to constantly use the democratic political system that is clearly dangerous, plebeian, and depressing.

Actually, we are a great nation that could be really big if using a glory that Allah has given to us in the womb.


Duh, Allah, Ya Robbi, save us. Stop the stupidity made ​​us proud of this. Amien .

Ikan Laut Jawa Barat Mulai Berkurang

Laut Indonesia terkenal luas karena merupakan negara maritim dan disebut pula archipelago. Hal tersebut merupakan potensi alam yang luar biasa besar. Akan tetapi, seiring dengan banyaknya penangkapan, ikan-ikan di laut Indonesia, termasuk di Jawa Barat sudah mulai berkurang. Ikan-ikan yang berkurang jumlah dan jenisnya itu adalah yang berada di wilayah empat mil.

            Pengurangan tersebut diakibatkan oleh penangkapan yang terus-menerus selama puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun dengan menggunakan kapal-kapal kecil. Kapal-kapal kecil itulah yang menghabiskan ikan di wilayah empat mil. Hal itu tidak bisa dicegah dengan larangan melaut karena merupakan pencaharian hidup para nelayan. Solusi yang tepat adalah memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok nelayan berupa kapal-kapal besar 3 GT (gross ton) yang dapat melaut lebih jauh daripada empat mil dalam waktu berhari-hari di tengah laut dengan hasil tangkapan yang sangat besar.



            Dengan menggunakan kapal-kapal besar, ikan-ikan di wilayah empat mil akan kembali tumbuh besar berjumlah banyak dengan beragam jenis. Hal itu disebabkan para nelayan akan melewati wilayah yang ikannya sudah berkurang banyak itu.

            Akan tetapi, terjadi permasalahan, yaitu Jawa Barat khususnya di bagian selatan belum memiliki pelabuhan yang memadai untuk tambat labuh perahu-perahu besar. Pemerintah memang berniat membangun pelabuhan-pelabuhan besar, tetapi masih terdapat kendala.

            ”Untuk membuat pelabuhan-pelabuhan bagi kapal besar, saat ini kita masih milih-milih karena tidak semua kota dan kabupaten yang ada lautnya mau dibikin pelabuhan. Alasannya macam-macam. Akibatnya, mereka harus tambat labuh di tengah laut dan itu mengakibatkan penambahan biaya, cost lagi,” kata Sri Judantari yang pernah menjabat Kabid Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat.

            Di samping itu, kesulitan pemerintah memberikan bantuan kapal-kapal besar bukan hanya soal pelabuhan besar, melainkan pula data-data yang diperlukan dari para nelayan masih sangat kurang.

”Kesulitan dalam mengambil kebijakan adalah data yang kurang dari nelayan sendiri. Misalnya, kita ingin memberikan kapal besar, tetapi kita harus tahu dulu daerah tangkapannya dan jumlah rutin yang mereka dapatkan. Data itu tidak gampang didapat karena nelayan sendiri tidak memberikan laporan yang akurat,” ujar Sri lagi.

Tampaknya, baik pemerintah dan para nelayan menginginkan hal yang sama bagi peningkatan kelautan dan perikanan di Jawa Barat. Jika terjadi komunikasi lebih efektif antara pemerintah dengan para nelayan, peningkatan produksi akan lebih baik lagi.


Di samping menggunakan kapal-kapal besar, wilayah empat mil dapat lebih terselamatkan jika para nelayan tidak hanya melakukan penangkapan ikan, tetapi melakukan pula hal lain di laut, misalnya, budidaya rumput laut serta melakukan penanaman ikan di wilayah empat mil, kemudian membiarkannya untuk berkembang biak dan tumbuh besar terlebih dahulu dalam waktu yang cukup. *******
           


Sunday, January 31, 2016

Stupid Elite Teach People to Be Hypocritical

by Tom Finaldin


Bandung, The Son of The Sun

Whoever it was, whatever position it bears, as much as any of his followers, I said the person is an idiot elite, a fool, and stupid. They had ulcers in their brain. If ulcers could not be dissected until healed, should be silenced to death. You see, if still alive, could disrupt the minds of people, the people of Indonesia, who should get a lot of love and guidance.

            From the beginning we are well aware that democracy in this country involves the behavior of "money politics". As good as any attempt to stop this crazy behavior, will never be successful. There is a political elite that wants to be called a good person to replace it with the term "cost of politics" to make it more polite. In fact, the content remains the same, the name of bribes.

            Remember, the bribing and bribed not necessarily go to jail, even can become evil official, but it certainly is a place in hell. Certainly. Trust me.

You do not believe it?

It is up to you.

Because money politics is unstoppable and persistent, an idiot elite was taught the people with the words, "Take the money, but do not be selected."

It taught people to be a hypocrite, Idiot!

If hypocrisy is only occur at the level of person to person, the damage is limited. Only among those involved who experience it. However, if the hypocrisy is widespread sporadically, will disrupt social relations of society. We already see the fruits of the teachings of the stupid elite.

Many candidates who reclaim goods or money that has been given to the community because the community does not choose them. There are also failed candidates who damaged facilities in a place because he felt cheated by the people.

As a result of that event is the disruption good relations within the community. All so tense, mutual suspicion, and furious.

We spontaneously blame the failed candidates because they were considered not good.

So, people who have received money, goods, or facilities are good ones?

The stupid elite definitely say that they are intelligent people.

Smart ass.

I think it is only natural that the failed candidates disappointed and angry. He felt he had cheated by the people. In fact, there could have been people who promised him to select and invite people he knew to choose as well for having had the gift that tastes good of the candidates, but their heart is crooked.

Is not that hypocritical attitude?

I pointed to myself. If I give someone twenty-five thousand rupiah with the hope he helped me to fix a leaky roof, then that person did not do it when he have received the money from me, but instead fix the tile neighbors, is it fair if I am angry and disappointed?

Not may I take back the money that I have given in order to give to others who really will help me?

I could take that money back or leave it, but the man already exist in the record of my life as a person who can not be trusted.

Of events that have occurred post-election, we should have been able to take lessons and increasingly believe that democratic political systems was disrupt harmonious life. Everyone can be a hypocrite, both candidates and the people. In fact, people who want to be respectable taught not right at people.

Supposedly, if you would not have chosen that person or party, do not welcome gift. That is fair attitude, knight, commendable, and Pancasilais.

The attitude of the easiest is to leave democracy. Go back to the sacredness of Mother Earth. That's where our strength. For the sake of Allah.

Heh , Stupid!

Hi idiot!

O idiot!

If you become the political elite, when you become a public figure, speech must be right, think first, first consider wearing your heart and brain. Do not just crowing.


You also jerk!